F0rsakeN sebagai salah satu pemain asal Indonesia yang kini membela tim asal Singapura, Paper Rex mengungkap satu kelemahan tim-tim Valorant di Indonesia khususnya dalam berbagai kompetisi di luar Indonesia sekelas VCT APAC.

Sebagai salah satu bintang FPS ternama, f0rsakeN atau yang memiliki nama asli Jason Susanto adik dari legenda FPS Indonesia, Kevin “Xccurate” Susanto ini mengungkap bahwa ada satu faktor yang memang menjadi kekurangan tim-tim Indonesia dalam setiap ajang internasional.

Kendati demikian, ia hanya berusaha untuk memberi masukan positif dengan opininya tanpa bermaksud untuk memberi kesan buruk bagi setiap tim-tim Indonesia yang kerap gagal melaju ke babak Masters seperti dirinya juga Aaron “mindfreak” Leonhart.



Sebelum mengutarakan opininya, f0rsakeN berasumsi jika Valorant sebenarnya adalah permainan FPS yang cukup mudah dibanding game sejenisnya (CSGO). Ia bahkan mengungkap jika di Valorant semua pemain bisa menembak dengan mudah di semua momen.

“Saya merasa Valorant itu lebih mudah menembaknya, Spraynya itu random banget, kalian bisa nembak kapan saja dan kena. ‘Run and gun’ (menembak sambil berlari) pun bisa kena, nembak dari ropes (tali) juga bisa kena,” ujarnya.

Lantas, bagaimana pandangan f0rsakeN terhadap kelemahan tim-tim Valorant di Indonesia? Apakah scene kompetitif Valorant di Indonesia dengan MY/SG jauh berbeda? Simak ulasan ONE Esports selengkapnya berikut ini.


PRX f0rsakeN ungkap kelemahan tim-tim Valorant di Indonesia, inilah perbedaannya dengan scene kompetitif MY/SG

PRX f0rsakeN menyatakan jika sebenarnya scene kompetitif di Indonesia lebih mengutamakan strategi dibandingkan tim-tim di scene MY/SG. Menurut Jason, tim-tim di MY/SG misalnya Paper Rex merupakan tim yang lebih mengutamakan kekuatan aim (tembakan).

Paper Rex
Paper Rex | Kredit: Valorant Esports (Instagram)

“Di Indonesia menurut saya scenenya itu memang benar-benar sengit, beda dengan scene MY/SG tim-tim di sana lebih memiliki gaya bermain mereka sendiri,”

“Yang saya lihat, kalau di scene kompetitif Indonesia itu strateginya lebih rapi. Dibanding MY/SG yang mungkin terinpirasi Paper Rex, lebih grasa-grusu (rusuh) mainnya. Strategis sih iya, tapi kita memang mainnya lebih ke (pengutamaan kekuatan) aim saja,” sambungnya.


Bahkan, dari pendapat sebelumnya pun Jason menyatakan sebenarnya lebih sulit bersaing/berkompetisi di Indonesia dibandingkan di MY/SG.

“Iya, lebih sulit (berkompetisi) di Indonesia. Menurut saya Indonesia lebih berpengalaman, karena di Indonesia memang semua orang sudah tahu basic FPS jadi ya lebih sulit di sana,” ungkap Jason.

ONIC G
ONIC G as the champion of VCT ID Stage 2 | Kredit: ONE Esports (Dhonazan)

Menanggapi kekalahan tim-tim Indonesia dalam VCT APAC Stage 1 dan Stage 2, menurut Jason faktor yang menjadi kekurangan mereka adalah mentalitas. Selain itu juga komunikasi yang kurang baik dan padu menjadi satu kekurangan yang disoroti oleh Jason.

“Mungkin, kalau yang saya lihat ya adalah mentalitas. Misalnya, (tim Indonesia) ketemu XERXIA nih, saya mungkin melihatnya mental mereka belum (sekuat) sampai sejauh itu. Dari segi komunikasi (comms) juga tampak kacau rusuh dan kurang rapi,” pungkasnya.


Tampaknya mentalitas dan komunikasi adalah salah satu PR besar bagi setiap tim-tim Indonesia menuju turnamen Internasional selanjutnya. Semoga mereka bisa belajar banyak dari setiap kekurangan dan bisa menyusul kesuksesan f0rsakeN sebagai salah satu pemain asal Indonesia.

BACA JUGA : Tips meningkatkan aim Valorant untuk para pemula