TI11 atau The International 11 tahun 2022 saat ini tengah diselenggarakan. Memasuki babak Group Stage, beberapa tim-tim esports terbaik di dunia sudah melalui berbagai tahap dari babak Qualifier, Last Chance hingga saat ini memperebutkan tiket menuju playoff.

Gelaran bergengsi tersebut tentunya menjadi salah satu metode yang dapat digunakan untuk semua tim DOTA 2 baik di level profesional ataupun non-profesional untuk bisa mengembangkan diri. Menjadi sosok pelatih tim DOTA 2 Predator League, Aville adalah salah satu orang yang menilai jika ajang TI11 merupakan sarana pembelajaran yang penting.



Memang, aspek makro dan mikro DOTA 2 sebagai salah satu game MOBA tertua saat ini sangatlah tidak mudah untuk dipahami. Butuh pemikiran yang cukup matang agar setiap tim/pemain bisa menguasai keseluruhan aspek permainan dari DOTA 2.

Aville, sebagai pelatih juga merupakan sosok pemain DOTA 2 Indonesia yang cukup legendaris pernah bermain untuk tim EVOS Esports. Lantas bagaimanakah penilaian Aville terhadap ajang TI11? Apa saja pengaruh ajang tersebut untuk tim yang saat ini tengah ia bimbing?


Pengaruh ajang TI11 terhadap perkembangan tim DOTA 2 Indonesia menurut Aville

TI11
Adit “Aville” Rosenda (Right) as Indonesian DOTA 2 coach | Kredit: ONE Esports (Cristian WS)

Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke bootcamp tim DOTA 2 Predator League di High Grounds, PIK, Jakarta Utara, Kamis (13/10), Adit “Aville” Rosenda sebagai pelatih tim DOTA 2 menjawab pertanyaan ONE Esports terkait pengaruh TI11 terhadap performa tim DOTA 2 Indonesia.

DOTA 2 Predator League team Indonesia, terdiri atas beberapa pemain ternama Indonesia seperti Randy “DreamoceL” Sapoetra, Tri Daya “MamangDaya” Pamungkas, Tri “Jhocam” Kuncoro, Yukatheo “You_K” Glen, dan Syaid “Womy” Reski.

Menurut Aville, ada banyak pelajaran yang ia ambil sebagai seorang pelatih. Terlebih berkaca dari babak Last Chance Qualifier, menurut Aville salah satu aspek yang cukup dikembangkan dari tim DOTA 2 Indonesia adalah playstyle (gaya main) dan juga pool hero.

“Oke, kalau belajar dari The International yang baru saja selesai Last Chance Qualifier kemarin, kami banyak belajar dari sisi hero, drafting mereka seperti apa, strategi seperti apa sebenarnya untuk META mungkin tidak banyak perubahan,”

“Akan tetapi ada beberapa pendekatan hero yang memang harus kami tambah hero pool-nya di sini untuk para pemain,” ucap Aville.

Ia pun menambahkan, jika mengambil satu contoh tim yang diamati untuk kemudian dipelajari oleh tim DOTA 2 Indonesia adalah Team Liquid. Aville menilai jika Team Liquid adalah salah satu tim yang mereka jadikan role-model yang dapat dipelajari.

Team Liquid DOTA 2 Team | Kredit; Team Liquid

“Dari segi gaya main (playstyle), kebetulan kemarin kami ambil satu contoh, Team Liquid. Karena kami punya role-model ya, jadi kami ambil satu role-model yang gameplay-nya kemungkinan bisa kami pelajari, dari segi pool hero ada yang kami adjust dari mereka, kurang lebih beberapa aspek juga kami ambil dari mereka,” sambungnya.

Memiliki berbagai pemain berpengalaman seperti DreamoceL dan juga Jhocam yang sudah bermain di level internasional serta berbagai pemain lainnya yang cukup ternama di scene lokal seperti YouK, Mamang Daya dan Womy dari Army Geniuses membuat Aville sebagai pelatih juga cukup terbantu membangun fondasi dan strategi kekuatan dari tim ini.

“Di sini, di tim ini yang mengambil banyak peran pasti DreamoceL. Kami tahu jam terbang dia sudah cukup tinggi, dari segi draft dia juga pemain yang cukup unggul. Sebagai pelatih, saya di sini lebih bertugas menyesuaikan kebutuhan tim,”

Randy “DreamoceL” Sapoetra | Kredit: DreamoceL

“Di sini saya juga bertugas sebagai seorang reminder, menutupi kebutuhan mereka lah jadi lebih ke arah bonding pemain, membantu dari segi draft. Sama seperti Team Liquid, carry-nya yang mengatur dari segi draft, pelatihnya sebagai asisten dan reminder serta berperan sebagai orang ke-6 yang turut memberikan insight permainan mau seperti apa,”

“Jadi ya DreamoceL bisa dibilang sebagai kapten yang banyak berperan di tim Predator Gaming, kalau untuk Jhocam berperan lebih di ingame dan early game, banyak aspek yang perlu dilakukan di early game. Tidak bisa dipungkiri, mereka berdua itu cukup leading dan membantu perkembangan permainan di tim ini,” pungkasnya.

Walau DreamoceL hanya bertarung di level ESL events dan belum mencapai TI11 seperti pemain lainnya entah Xepher atau Whitemon dan pemain Indonesia lainnya. Besar harapan sang pelatih jika dirinya dapat berkontribusi maksimal untuk tim nantinya.

Bersama Aville, DreamoceL cs akan bertarung dalam ajang DOTA 2 APAC Predator League di Jepang menghadapi berbagai tim lainnya. Belajar dari TI11, semoga performa mereka bisa memberikan prestasi yang baik bagi Indonesia di mata dunia.

BACA JUGA : Penggemar kecewa! The International mungkin tak semegah dulu